Friday, July 13, 2012

Ilmu disisi Pendakwah

Sheikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: “Kita sering menemukan sebahagian da’i memiliki perhatian terhadap dakwah dan ukhuwah ke jalan Allah, serta saling mencintai di dalamnya, namun mereka tidak menitik beratkan persoalan ilmu, tafaqquh dalam perkara-perkara agama dan aqidah, serta lalai daripada menghadiri majlis-majlis ilmu. Maka apakah komentar Sheikh terhadap hal ini?

Jawapan:

Komentar saya terhadap hal itu adalah : Saya mengatakan bahawa bekal  pertama yang wajib dipegangi oleh seorang da’i adalah, hendaknya dia menjadi seorang yang ‘alim (berilmu). Kerana meremehkan ilmu ertinya seseorang akan tetap berada dalam kondisi bodoh, dan dakwahnya menjadi buta tanpa mengetahui apa yang benar di dalamnya.

Jika dakwah itu berdiri di atas kebodohan, maka setiap orang akan memberikan hukum sesuai dengan apa yang difikirkan oleh akalnya, yang ia sangka benar padahal salah. Maka saya berpendapat bahawa pandangan ini adalah salah! Wajib ditinggalkan, dan hendaknya seseorang tidak berdakwah kecuali setelah mempelajaari (apa yang ia akan dakwahkan). Oleh karena itu Imam Al-Bukhari Rahimahullah telah membuat bab yang semakna dengan ini dalam kitab Sahihnya dengan menuliskan : Bab “Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal”, lalu beliau menjadikan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Maka ketahuilah! Bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” [Muhammad : 19]

Maka seseorang haruslah mengetahui (belajar) terlebih dahulu, kemudian barulah mendakwahkannya.

Adapun dakwah tanpa landasan ilmu tidak akan istiqomah (konsisten) selamanya. Tidakkah anda melihat jika kita keluar dari Jeddah dan berangkat menuju Riyadh, lalu kita meminta petunjuk arah kepada seseorang yang kita ketahui sebagai orang yang memiliki akhlak dan niat yang baik, lalu kita katakan padanya: “Kami ingin anda menunjukkan pada kami jalan ke Riyadh”. Namun ia sebenarnya tidak mengetahui jalannya. Maka dia pun membawa kita ke perjalanan yang jauh dan panjang, hingga kita letih dan lelah, dan hasilnya adalah bahwa kita tidak sampai ke kota Riyadh. Kenapa ? Kerana orang itu tidak mengetahui jalannya.

Maka, bagaimana mungkin seseorang dapat menjadi petunjuk jalan untuk mengetahui perihal  syari’at sedang dia juga tidak mengetahui syari’at tersebut? Ini tidak mungkin selama-lamanya.


[Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq] – Dengan sedikit suntingan alih bahasa oleh penulis.

No comments: